Kisah Pahlawan Tuanku Imam Bonjol “Pemimpin Utama
Perang Padri”
4 Votes

Oleh: Suryadi
Tuanku Imam
Bonjol (TIB) (1722-1864), yang diangkat sebagai pahlawan nasional berdasarkam
SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, 6 November 1973, adalah pemimpin utama
Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1837) yang gigih melawan Belanda.
Selama 62
tahun Indonesia merdeka, nama Tuanku Imam Bonjol hadir di ruang publik bangsa:
sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan di lembaran Rp 5.000
keluaran Bank Indonesia 6 November 2001.
Namun,
baru-baru ini muncul petisi, menggugat gelar kepahlawanannya. TIB dituduh
melanggar HAM karena pasukan Paderi menginvasi Tanah Batak (1816-1833) yang
menewaskan “jutaan” orang di daerah itu (http://www.petitiononline. com/bonjol/petition.html).
Kekejaman
Paderi disorot dengan diterbitkannya buku MO Parlindungan, Pongkinangolngolan
Sinamabela Gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak,
1816-1833 (2006) (Edisi pertama terbit 1964, yang telah dikritisi Hamka, 1974),
kemudian menyusul karya Basyral Hamidy Harahap, Greget Tuanku Rao (2007).
Kedua
penulisnya, kebetulan dari Tanah Batak, menceritakan penderitaan nenek
moyangnya dan orang Batak umumnya selama serangan tentara Paderi 1816-1833 di
daerah Mandailing, Bakkara, dan sekitarnya (Tempo, Oktober 2007).
Munculnya
koreksi terhadap wacana sejarah Indonesia belakangan ini mencuatkan kritisisme
terhadap konsep pahlawan nasional. Kaum intelektual dan akademis, khususnya
sejarawan, adalah pihak yang paling bertanggung jawab jika evaluasi wacana
historis itu hanya mengakibatkan munculnya friksi di tingkat dasar yang
berpotensi memecah belah bangsa ini.
Ujung pena
kaum akademis harus tajam, tetapi teks-teks hasil torehannya seyogianya tidak
mengandung “hawa panas”. Itu sebabnya dalam tradisi akademis, kata-kata
bernuansa subyektif dalam teks ilmiah harus disingkirkan si penulis.
Setiap
generasi berhak menafsirkan sejarah (bangsa)-nya sendiri. Namun, generasi baru
bangsa ini—yang hidup dalam imaji globalisme—harus menyadari, negara-bangsa apa
pun di dunia memerlukan mitos-mitos pengukuhan. Mitos pengukuhan itu tidak
buruk. Ia adalah unsur penting yang di-ada-kan sebagai “perekat” bangsa. Sosok
pahlawan nasional, seperti Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin,
Sisingamangaraja XII, juga TIB, dan lainnya adalah bagian dari mitos pengukuhan
bangsa Indonesia.
Jeffrey
Hadler dalam “An History of Violence and Secular State in Indonesia: Tuanku
Imam Bondjol and Uses of History” (akan terbit dalam Journal of Asian Studies,
2008) menunjukkan, kepahlawanan TIB telah dibentuk sejak awal kemerdekaan
hingga zaman Orde Baru, setidaknya terkait tiga kepentingan.
Pertama, menciptakan mitos tokoh hero yang
gigih melawan Belanda sebagai bagian wacana historis pemersatu bangsa.
Kedua, mengeliminasi wacana radikalisme
Islam dalam upaya menciptakan negara-bangsa yang toleran terhadap keragaman
agama dan budaya.
Ketiga, “merangkul” kembali etnis Minang
ke haribaan Indonesia yang telah mendapat stigma negatif dalam pandangan pusat
akibat peristiwa PRRI.
Kita tak
yakin, sudah adakah biji zarah keindonesiaan di zaman perjuangan TIB dan tokoh
lokal lain yang hidup sezaman dengannya, yang kini dikenal sebagai pahlawan
nasional.
Kita juga
tahu pada zaman itu perbudakan adalah bagian sistem sosial dan beberapa
kerajaan tradisional Nusantara melakukan ekspansi teritorial dengan menyerang
beberapa kerajaan tetangga. Para pemimpin lokal berperang melawan Belanda
karena didorong semangat kedaerahan, bahkan mungkin dilatarbelakangi keinginan
untuk mempertahankan hegemoni sebagai penguasa yang mendapat saingan akibat
kedatangan bangsa Barat. Namun, mereka akhirnya menjadi pahlawan nasional
karena bangsa memerlukan mitos pemersatu.
Bukan
manusia sempurna
Tak dapat
dimungkiri, Perang Paderi meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis
dalam memori bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821)
praktis yang berbunuhan adalah sesama orang Minangkabau dan Mandailing atau
Batak umumnya.
Campur
tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit
Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas
perintah Residen James du Puy di Padang. Kompeni melibatkan diri dalam perang
itu karena “diundang” kaum Adat.
Pada 21
Februari 1821 mereka resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman Minangkabau)
kepada Kompeni dalam perjanjian yang diteken di Padang, sebagai kompensasi
kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi. Ikut “mengundang”
sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Muningsyah yang
selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin Tuanku Pasaman di
Koto Tangah, dekat Batu Sangkar, pada 1815 (bukan 1803 seperti disebut
Parlindungan, 2007:136-41).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar